Sabtu, 13 Oktober 2012

Jerome Bruner

A. Biografi
Nama lengkap dari Bruner adalah Jerome Seymour Bruner. Bruner lahir di New York City pada tanggal 1 Oktober 1915. Ia berkebangsaan Amerika. Ayahnya bernama Heman dan ibunya bernama Rose Bruner.
Bruner menyelesaikan pendidikan sarjana di Duke University di mana ia menerima gelar sarjananya (A.B) pada tahun 1937. Selanjutnya, Bruner belajar psikologi di Harvard University dan mendapat gelar doktornya (A.M) pada tahun 1939 dan mendapat gelar Ph.D. Pada tahun 1939 dibawah bimbingan Gordon Allport. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, Bruner mengganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner menerbitkan artikel psikologis pertama yang berisi tentang mempelajari pengaruh ekstrak timus pada perilaku seksual tikus betina. Pada tahun 1941, tesis doktornya berjudul " A Psychological Analysis of International Radio Broadcasts of Belligerent Nations".
Setelah menyelesaikan program doktornya, Bruner memasuki Angkatan Darat Amerika Serikat dan bertugas di Divisi Warfare Psikologis dari Markas Agung Sekutu Expeditory Angkatan Eropa komite di bawah Eisenhower, meneliti fenomena psikologi sosial di mana karyanya berfokus pada propaganda (subyek tesis doktornya) serta opini publik di Amerika Serikat. Dia adalah editor Public Opinion Quarterly (1943-1944).
Pada tahun 1945, Bruner kembali ke Harvard sebagai profesor psikologi dan sangat terlibat dalam penelitian yang berkaitan dengan psikologi kognitif dan psikologi pendidikan. Ia dengan cepat naik pangkat dari dosen menjadi profesor pada tahun 1952 . Dia berperan penting dalam membangun pathbreaking Center for Cognitive Studies pada tahun 1960 menjabat sebagai direktur karenanya pada tahun 1972. Lalu antara tahun-tahun tersebut, yaitu antara tahun 1964-1965 ia terpilih dan menjabat sebagai presiden dari American Psychological Association.
Pada tahun 1970, Bruner meninggalkan Harvard untuk mengajar di Universitas Oxford di Inggris. Dia kembali ke Amerika Serikat pada tahun 1980 untuk melanjutkan penelitian di bidang psikologi perkembangan. Pada tahun 1972, Bruner berlayar melintasi Atlantik (kegemaran dari Bruner adalah berlayar), hal ini dikarenakan untuk mengambil posisi Watts Professor of Experimental Psychology at Oxford University
Pada tahun 1991, Bruner bergabung dengan fakultas di New York University Law School, di mana ia masih mengajar disana sampai sekarang. Pekerjaan pertamanya di NYU Law School terlibat dalam program seminar tentang Teori Praktek Hukum, yaitu upaya untuk mempelajari bagaimana hukum dipraktekkan dan bagaimana prakteknya dapat dipahami dengan menggunakan alat yang dikembangkan dalam linguistik antropologi, psikologi, dan teori sastra "(Bruner biografi, 2000). Pada saat Ia menekuni bidang tersebut, ia menjadi sangat tertarik dalam mempelajari bagaimana psikologi mempengaruhi praktek hokum.
Sepanjang karirnya, Bruner telah dianugerahi gelar doktor kehormatan dari Yale dan Columbia, serta perguruan tinggi dan universitas di lokasi seperti Sorbonne, Berlin, dan Roma, dan merupakan Fellow dari American Academy of Arts dan Ilmu.
Bruner juga mempublikasikan karyanya dalam bentuk buku, monograph, dan artikel. Beberapa buku dan monograph yang dikeluarkan Bruner :
1. Amsterdam, A. G., & Bruner, J. (2000). Minding the law. Cambridge, MA: Harvard University Press.
2. Bornstein, M. H., & Bruner, J. S. (Eds.). (1989). Interaction in human development. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
3. Bruner, J. S. (1943). Public thinking on post-war problems. Washington, DC: National Planning Association.
4. Bruner, J. S. (1944). Mandate for the people. New York: Duell, Sloan & Pearce.
5. Bruner, J. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press. (reprinted 1977)
6. Bruner, J. (1962). On knowing: Essays for the left hand. Cambridge, MA: Harvard University Press. (reprinted 1979)
7. Bruner, J. (1966). Toward a theory of instruction. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.
8. Bruner, J. (1968). Processes of cognitive growth: Infancy (Heinz Werner Lectures). Worcester, MA: Clark University Press.
9. Bruner, J. S. (1971). The relevance of education. Oxford, UK: W. W. Norton.
10. Dst.
Beberapa artikel yang pernah dipublikasikan Bruner, adalah sebagai berikut :
1. Allport, G. W., Bruner, J. S., & Jandorf, E. M. (1941). Personality under social catastrophe: Ninety life-histories of the Nazi revolution. Character & Personality: A Quarterly for Psychodiagnostic & Allied Studies, 10, 1-22.
2. Bruner, J. S., & Allport, G. W. (1940). Fifty years of change in American psychology. Psychological Bulletin, 37, 757-776.
3. Bruner, J. S. (1941). The dimensions of propaganda: German short-wave broadcasts to America. Journal of Abnormal & Social Psychology, 36, 311-337.
Tahun 950s
1. Bruner, J. S. (1950). Social psychology and group processes. Annual Review of Psychology, 1, 119-150.
2. Bruner, J. S. (1957). Neural mechanisms in perception. Psychological Review, 64, 340-358.
Tahun 990s
1. Bruner, J. S. (1990). Culture and human development: A new look. Human Development, 33, 344-355.
2. Bruner, J. (1992) Another look at New Look 1. American Psychologist, 47, 780-783.
3. Bruner, J. (1995). The autobiographical process. Current Sociology, 43, 161-177.
Pada tahun 2000s
1. Bruner, J. (2002). The legal and the literary. Yale Review, 90, 42-61.
2. Dst.


B. Teori Kontrugtivisme Bruner
Beberapa ciri khas teori belajar menurut Bruner adalah :
a. Mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan.
Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita dapat melihat bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungannya tetapi dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
b. Menekankan pentingnya kesiapan untuk belajar.
Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan ketrampilan–ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai ketrampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
c. Menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan.
Nilai intuisi diharapkan akan dapat merumuskan teknik-teknik intelektual (belajar) untuk sampai pada formulasi-formulasi tentative tanpa melalui langkah-langkah analisis untuk mengetahui apakah fomulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang benar.
d. Menekankan pentingnya motivasi atau keinginan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia untuk merangsang motivasi
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan penganut teori perilaku, Bruner yakin bahwa orang yang belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif. Perubahan tidak hanya terjadi pada lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan dan diperoleh sebelumnya. Model bruner ini mendekati struktur kognitif Aussebel (belajar bermakna). Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan, seseorang akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkannya untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui.
Ada dua bagian penting dari teori belajar Bruner, yaitu :
1. Tahap-tahap dalam proses belajar
2. Teorema-teorema tentang cara belajar dan mengajar matematika
Penjelasan tentang kedua bagian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tahap –tahap dalam Proses Belajar
a. Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung dan terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Jadi, pada tahap ini anak belajar suatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata. Pada penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.
b. Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Secara tidak langsung anak akan memanipulasi objek seperti yang dilakukan anak dalam tahap enaktif. Pada tahapan ikonik ini adalah suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif. Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak.
c. Tahap Simbolis
Dalam tahap ini, bahasa adalah pola dasar simbolik. Jadi, anak akan memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.

Bruner berpendapat proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, maka akan beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya kegiatan belajar itu akan diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik.
Sebagai contoh yaitu, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya menggabungkan 5 kelereng dengan 3 kelereng, menghitung banyaknya kelereng semuanya ini merupakan tahap enaktif). Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 5 kelereng dan 3 kelereng yang digabungkan tersebut (dihitung banyaknya kelereng semuanya). Dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut/ tahap ikonik, siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagenary) dari kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bialngan, yaitu : 5 + 3 = 8.

2. Teorema-teorema tentang cara belajar dan mengajar matematika
Selain mengembangkan teori perkembangan kognitif, Bruner mengemukakan teorema atau dalil-dalil berkaitan pengajaran matematika. Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh Bruner dan Kenney, pada tahun 1963 kedua pakar tersebut mengemukakan empat teorema/dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran matematika yang masing-masing mereka sebut sebagai ”teorema atau dalil”. Keempat dalil tersebut adalah :
• Dalil Konstruksi / Penyusunan (Contruction Theorem)
Di dalam teorema konstruksi dikatakan bahwa cara yang terbaik bagi seseorang siswa untuk mempelajari sesuatu atau prinsip dalam Matematika adalah dengan mengkontruksi atau melakukan penyusunan sebagai sebuah representasi dari konsep atau prinsip tersebut. Siswa yang lebih dewasa mungkin bisa memahami sesuatu konsep atau sesuatu prinsip dalam matematika hanya dengan menganalisis sebuah representasi yang disajikan oleh guru mereka. Akan tetapi, untuk kebanyakan siswa, khususnya untuk siswa yang lebih muda, proses belajar akan lebih baik atau melekat jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari apa yang dipelajari tersebut. Alasannya, jika para siswa bisa mengkontuksi sendiri representasi tersebut mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi tersebut, sehingga untuk selanjutnya mereka juga mudah untuk mengingat hal-hal tesebut dan dapat mengaplikasikan dalam situasi-situasi yang sesuai.
Dalam proses perumusan dan mengkonstruksi atau penyusunan ide-ide, apabila disertai dengan bantuan benda-benda konkret mereka lebih mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian, anak lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Seperti yang diuraikan pada penjelasan tentang modus-modus representasi, akan lebih baik jika para siswa mula-mula menggunakan representasi kongkret yang memungkinkan siswa untuk aktif, tidak hanya aktif secara intelektual (mental) tetapi juga secara fisik.
Contoh untuk memahami konsep penjumlahan misalnya 5 + 4 = 9, siswa bisa melakukan dua langkah berurutan, yaitu 5 kelereng dan 4 kelereng, cara lain dapat direpresentasikan dengan garis bilangan. Dengan mengulang hal yang sama untuk dua bilangan yang lainnya, anak-anak akan memahami konsep penjumlahan dengan pengertian yang mendalam.
• Dalil Notasi (Notation Theorem)
Menurut apa yang dikatakan dalam terorema notasi, representasi dari sesuatu materi matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila di dalam representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar, yang pada umumnya masih berada pada tahap operasi kongkret, soal berbunyi; ”Tentukanlah sebuah bilangan yang jika ditambah 3 akan menjadi 8”, akan lebih sesuai jika direpresentasikan dalam bentuk
... + 3 = 8 atau + 3 = 8 atau a + 3 = 8.
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Penyajian seperti dalam matematika merupakan pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide-ide matematika disajikan secara sistimatis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada tahap awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih kompleks.
• Dalil Kekontrasan dan Variasi (Contrast and Variation Theorem)
Di dalam teorema kekontrasan dan variasi dikemukakan bahwa suatu konsep Matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila konsep itu dikontraskan dengan konsep-konsep yang lain, sehingga perbedaan antara konsep itu dengan konsep-konsep yang lain menjadi jelas. Sebagai contoh, pemahaman siswa tentang konsep bilangan prima akan menjadi lebih baik bila bilangan prima dibandingkan dengan bilangan yang bukan prima. Demikian pula, pemahaman siswa tentang konsep persegi dalam geometri akan menjadi lebih baik jika konsep persegi dibandingkan dengan konsep-konsep geometri yang lain, misalnya persegipanjang, jajarangenjang, belahketupat, dan lain-lain. Dengan membandingkan konsep yang satu dengan konsep yang lain, perbedaan dan hubungan (jika ada) antara konsep yang satu dengan konsep yang lain menjadi jelas. Sebagai contoh, dengan membandingkan konsep persegi dengan konsep persegipanjang akan menjadi jelas bahwa persegi merupakan kejadian khusus (a special case) dari persegipanjang, artinya: setiap persegi tentu merupakan persegipanjang, sedangkan suatu persegipanjang belum tentu merupakan persegi.
Selain itu di dalam teorema ini juga disebutkan bahwa pemahaman siswa tentang sesuatu konsep matematika juga akan menjadi lebih baik apabila konsep itu dijelaskan dengan menggunakan berbagai contoh yang bervariasi. Misalnya, dalam pembelajaran konsep persegipanjang, persegipanjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi. Misalnya ada persegipanjang yang posisinya bervariasi (ada yang dua sisinya behadapan terletak horisontal dan dua sisi yang lain vertikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya), ada persegipanjang yang perbedaan panjang dan lebarnya begitu mencolok, dan ada persegipanjang yang panjang dan lebarnya hampir sama, bahkan ada persegipanjang yang panjang dan lebarnya sama. Dengan digunakannya contoh-contoh yang bervariasi tersebut, sifat-sifat atau ciri-ciri dari persegi panjang akan dapat dipahami dengan baik. Dari berbagai contoh tersebut siswa akan bisa memahami bahwa sesuatu konsep bisa direpresentasikan dengan bebagai contoh yang spesifik. Sekalipun contoh-contoh yang spesifik tersebut mengandung perbedaan yang satu dengan yang lain, semua contoh (semua kasus) tersebut memiliki ciri-ciri umum yang sama.
• Dalil Konektivitas atau Pengaitan (Connectivity Theorem)
Di dalam teorema konektivitas disebutkan bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan setiap ketrampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan yang lain. Adanya hubungan antara konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan itu menyebabkan struktur dari setiap cabang matematika menjadi jelas. Adanya hubungan-hubungan itu juga membantu guru dan pihak-pihak lain (misalnya penyusun kurikulum, penulis buku, dan lain-lain) untuk menyusun program pembelajaran bagi siswa.
Dalam pembelajaran matematika, tugas guru bukan hanya membantu siswa dalam memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip serta memiliki ketrampilan-ketrampilan tertentu, tetapi juga membantu siswa dalam memahami hubungan antara konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan tersebut. Dengan memahami hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dari matematika, pemahaman siswa terhadap struktur dan isi matematika menjadi lebih utuh.

Perlu dijelaskan bahwa keempat dalil tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu per satu seperti contoh di atas. Dalam penerapan (implementasi), dua dalil atau lebih dapat diterapkan secara bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar. Misalnya konsep Dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan Tripel Pythagoras. Guru perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang digunakan, sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal lainnya.



C. Belajar Penemuan (Discovery Learning)
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang, dengan teorinya yang disebut “( discovery learning)” (Budiningsih,2008:40-41). Ditinjau dari arti katanya “discover” berarti menemukan dan “discovery” adalah penemuan. Robert B. menyatakan bahwa discovery adalah proses mental di mana anak/individu mengasilmilasi konsep dan prinsip (Ahmadi,2005:76). Jadi, seorang siswa dikatakan melakukan discovery bila anak terlihat menggunakan proses mentalnya dalam usaha menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Proses mental yang dilakukan, misalnya mengamati, menggolongkan, mengukur, menduga dan mengambil kesimpulan.
Ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya secara sendiri.
Siswa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakana (yaitu kegiatan belajar dengan pemahaman). Untuk itu Bruner membedakan menjadi tiga tahap (Muhbidin Syah,2006:10). Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Manfaat belajar penemuan adalah sebagai berikut:
• Belajar penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna;
• Pengetahuan yang diperoleh siswa akan tertinggal lama dan mudah diingat;
• Belajar penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan dalam belajar adar siswa dapat mendemonstrasikan pengetahuan yang diterima;
• Transfer dapat ditingkatkan dimana generalisasi telah ditemukan sendiri oleh siswa dari pada disajikan dalam bentuk jadi;
• Penggunaan belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasiswa;
• Meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kelebihan, antara lain :
a. Pengetahuan itu bertahan lama/lama diingat/lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.
b. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru.
c. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih ketrampilan-ketrampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
d. Selanjutnya dikemukakan, bahwa belajar penemuan membangkitkan keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban.
e. Lagi pula pendekatan ini dapat mengajarkan ketrampilan – ketrampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain dan meminta para siswa untuk menganalisis serta memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.
Kelemahan dari Teori Belajar Penemuan (Free Discovery Learning) adalah (Ahmadi,2005:79) :
1) Belajar Penemuan ini memerlukan kecerdasan anak yang tinggi. Bila kurang cerdas, hasilnya kurang efektif
2) Teori belajar seperti ini memakan waktu cukup lama dan jika kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menyebabkan kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari
Adapun tahap pembelajran penemuan adalah sebagai berikut :
1. Stimulus (pemberian perangsang/stimuli) : Kegiatan belajar dimulai dengan memberikan pertanyaan yang merangsang berfikir si pembelajar, menganjurkan dan mendorongnya untuk membaca buku serta aktivitas belajar lain yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
2. Problem Statement (mengidentifikasi masalah) : Memberikan kesempatan kepada si pembelajar untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan belajar kemudian memilih dan merumuskan dalam bentuk hipotesa (jawaban sementara dari masalah tersebut).
3. Data Collection (pengumpulan data) : Memberikan kesempatan kepada para si pembelajar untuk mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesa tersebut.
4. Data Processing (pengolahan data) : Mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan wawancara, observasi dan lain-lain. Kemudian data tersebut ditafsirkan.
5. Verifikasi : Mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar dan tidaknya hipotesis yang diterapkan dan dihubungkan dengan hasil dan processing.
6. Generalisasi : Mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Selain itu Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam 4 macam menurut fungsinya (Nasution,2000:15) sebagai berikut :
1. Alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”, yaitu menyajikan bahan-bahan kepada murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dll.
2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala, misalnya model molekul atau alat pernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi, dan juga program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatu prinsip atau struktur pokok.
3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian tentang suatu ide atau gejala.
4. Alat automatisasi seperti “teaching machine” atau pelajaran berprograma, yang menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi balikan atau feedback tentang responds murid.

Bruner menyadari bahwa belajar penemuan yang murni memerlukan waktu, karena dalam bukunya “The Relevance of Education”, Bruner menyarankan agar penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi.
Menurut Bruner, yang dimaksud dengan mengerti suatu bidang studi ialah memahami bidang studi itu sedemikian rupa se hingga dapat menghubungkan hal-hal lain pada struktur itu secara bermakna. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa mempelajari struktur adalah mempelajari bagaimana hal-hal tersebut dihubungkan.


D. Perbedaan Teori Belajar Burner dari Ahli Teori Kognitif Lainnya
Bruner lebih menekankan pada pemberian kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya, yang lebih dikenal dengan teori Free Discovery Learning. Sementara Ausebel mengemukakan konsep belajar bermaknanyan yaitu belajar yang disertai dengan pengertian. Belajar bermakna ini akan terjadi apabila informasi baru yang diterimanya mempunyai hubungan dengan konsep yang sudah ada dan diterima oleh siswa (Advance Organizers). Sementara Jean Piaget mengeluarkan teori Cognitive Development karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. (Soemanto,1998:130)




E. Aplikasi Teori Bruner Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1. Menyajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
Misal : untuk contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.
2. Membantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
Misalnya berikan pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?
3. Memberikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
4. Mengajak dan memberi semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya. (Anita W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16).
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar.
1. Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang?
Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan contohnya berikan bentuk-bentuk bangun datar lainnya seperti, persegi panjang, jajar genjang, trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a. Tahap Enaktif


Untuk gambar a ukurannya : Panjang = 20 satuan
Lebar = 1 satuan
Untuk gambar b ukurannya: Panjang = 10 satuan
Lebar = 2 satuan
Untuk gambar c ukurannya: Panjang = 5 satuan
Lebar = 4 satuan
b. Tahap Ikonik
Penyajian pada tahap ini apat diberikan gambar-gambar dan Anda dapat
berikan sebagai berikut.




c. Tahap Simbolis
Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegipanjang. Jika simbolis ukuran panjang p, ukuran lebarnya l , dan luas daerah persegi panjang L

maka jawaban yang diharapkan L = p x l satuan. Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar.


KESIMPULAN

A. Ada dua bagian penting dari teori belajar Bruner, yaitu :
a. Tahap-tahap dalam proses belajar, yang meliputi : Tahap Enaktif, Tahap Ikonik, dan tahap simbolis.
b. Teorema-teorema tentang cara belajar dan mengajar matematika, yang meliputi : Dalil Kontruksi, Dalil Notasi, Dalil Kekontrasan dan Variasi, serta Dalil Konekvitas / Pengaitan
B. Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1. Menyaajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
2. Membantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
3. Memberikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
4. Mengajak dan memberi semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.
Tidak semua materi yang ada dalam matematika dapat dilakukan dengan metode penemuan
C. Proses belajar menurut Bruner adalah suatu proses yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. Teori belajar Bruner dikenal dengan teori Free Discovery learning


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. dan Joko Tri Prasetya. 2005. Strategi Belajar Mengajar. CV. Pustaka Setia : Bandung.
Budininsih, Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. PT. Rineka Cipta : Jakarta.
www.psych.nyu.edu. 2012. Biography Bruner. 9 Oktober
www.answers.com. 2012. Topic-Jerome Bruner. 9 Oktober
web.lemoyne.edu. 2012. Theory Jerome Bruner. 9 Oktober
www.wikipedia.org. 2012. Jerome Bruner. 9 Oktober